Menurut Azyumardi, ada dua faktor legal yang membuat partai islami menjamur. yang pertama, keputusan Presiden Habibie mencabut aturan sistem tiga partai—Golkar, PDI (kelompok nasionalis), PPP (kelompok islami)—yang diterapkan secara paksa oleh Soeharto melalui kebijakan fusi partai tahun 1973. yang kedua, pencabutan Undang-Undang Ormas 1985 yang mengharuskan setiap organisasi di Indonesia menerapkan asas pancasila.
Lili Romli dalam “Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia” menyebutkan faktor teologis dan sosiologis Islam di Indonesia juga menjadi dalih kemunculan kembali partai-partai islami. Secara teologis, Islam meyakini agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan politik dan negara. Secara sosiologis, Islam adalah agama mayoritas di Indonesia. Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010 menyatakan sebanyak 87,18 persen penduduk Indonesia beragama Islam.
Azyumardi mengatakan salah satu elemen yang membuat suatu partai digolongkan partai islami adalah menjadikan Islam sebagai asas partai. Selain PBB, ada Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI) yang juga termasuk di dalam kelompok ini.
Ia kemudian menggolongkan partai berasas Pancasila yang pada saat bersamaan mengedepankan simbol-simbol Islam—seperti bulan-bintang, kakbah, atau aksara Arab—sebagai partai islami. Kelompok partai ini mencakup Partai Cinta Damai (PCD), Partai Indonesia Baru (PIB), Partai Bintang Reformasi (PBR), atau Partai Syariah Islam Indonesia (PSII).
Partai-partai yang berbasis massa Islam seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) didirikan kiai-kiai Nahdlatul Ulama, atau Partai Amanat Nasional (PAN) yang banyak tokoh sentralnya, misalnya Amien Rais, berasal dari kalangan Muhammadiyah juga dapat dikategorikan sebagai partai islami.
Namun, definisi tersebut bisa jadi cair. Misalnya, Syukron Ma’mun, pendiri PPNUI, adalah Pimpinan Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta yang berafiliasi dengan PPP.
Tampilkan Semua