Oleh : Aji Setiawan – Model pendidikan ala pesantren belakangan memang tergerus modernitas jaman. Bahkan banyak orang tua muslim yang semakin enggan menitipkan anaknya ke Pesantren karena dianggap akan menemui madesu (masa depan suram), dan lebih memilih sekolah-sekolah negeri atau bagi mereka yang berduit ke sekolah-sekolah Islam terpadu yang beberapa di antaranya juga mengadopsi system sekolah berasrama (boarding school) yang dilabeli pondok pesantren.
Padahal keduanya jelas mengadopsi system pendidikan barat yang tentu akan berbeda dengan kebutuhan bangsa Indonesia. Permintaan pasar yang tinggi terhadap sekolah-sekolah modern, belakangan juga membuat kalangan pesantren goyah dan mulai mengadopsi system sekolah modern ke dalam pesantrennya yang kontan mengikis ruang untuk muatan lokal kepesantrenan.
Perdebatan mengenai keunggulan dan kecocokan sistem pendidikan pesantren dibanding sekolah modern ala Barat dalam membangun karakter bangsa sudah dimulai sejak sebelum kemerdekaan. yang paling keras adalah perdebatan Dr. Soetomo, pendiri Perkoempulan Boedi Oetomo, dengan Sutan Takdir Alisyahbana (STA) dalam Polemik Kebudayaan. Soetomo, meski bukan dari kalangan keluarga pesantren, dengan gigih membela pesantren sebagai sistem pendidikan khas Indonesia yang sesuai dengan kebutuhan pengembangan sumberdaya manusia Indonesia.
Sistem pesantren terbangun dari pergumulan panjang bangsa Nusantara melewati berbagai perubahan zaman, pergantian penguasa dan terbukti bisa terus mempertahankan diri dan sistemnya
Pesantren dianggap sangat layak menjadi pusat pendidikan kebangsaan karena di dalamnya ada lima karakter yang cocok menjadi ideologi kebangsaan kita, yaitu:
Karakter Pertama, memberi pengetahuan bagi murid-muridnya!
Karakter Kedua, member alat untuk berjuang di dunia!
Karakter Ketiga, pendidikan yang bersemangat kebangsaan, cinta kasih pada nusa dan bangsa, khususnya, dan pada dunia dan sesama umat manusia, umumnya!
Tampilkan Semua