Kedua, ranah Thabi’ah, atau integritas kepribadian. Prosesnya melalui pemeragaan atau pengamalan atas teks dan dogma yang sudah dikuasai, yang dalam ranah keilmuan pesantren lazim dinamakan taslik. Dengan pengawasan kiai pengasuh, baik secara langsung maupun melalui para pembantunya (Ustadz, Pengurus Asrama, dan sebagainya), para santri dilatih mengamalkan ajaran agamanya, sedikit demi sedikit, setahap demi setahap, sampai menjadi kebiasaan (habits) yang mekanik dan reflektif.
Semua kurikulum dipesantren disusun sedemikian rupa untuk mencapai tujuan besar ilmu yang bermanfaat, dalam arti ilmu yang secara konsisten teramalkan secara pribadi dan bisa memberi manfaat kepada orang lain. Diharapkan dari proses taslik (pengamalan) ini akan lahir sebuah uswah hasanah (keteladanan) dalam beragama yang menginspirasi lingkungan terdekatnya.
Ketiga, ranaah Kafaah, kecakapan yang operatif. Kecakapan ini dibangun melalui proses tatsqif (pembudayaan), yakni dengan membumikan keteladanan yang sudah terbangun secara internal pada lingkungan terdekat. Pada tahap ini pesantren berupaya terus memberikan kemanfaatan bagi lingkungan di sekitarnya secara terlembaga yakni terencana, sistematis, terukur dan konsisten. Dari proses tatsqif ini diharapkan akan ada dua hasil yang tercapai: pertama, kesaksian (baik personal maupun komunal) bahwa dalil-dalil yang dipelajari telah menjadi kenyataan terukur dan bermakna bagi masyarakatnya! kedua, pesantren (kiai dan santri) mendapatkan pengalaman empirik untuk meningkatkan kualitas pengamalan dan pemanfaatan dalil-dalil yang dipelajarinya.(***) mantan wartawan majalah alKisah, Jakarta.
Tampilkan Semua