Maka kita perlu mempersandingkan kembali antara intelektual dengan politik, keduanya saling melengkapi. Politik tidak akan terkontrol tanpa adanya kehadiran intelektual. Politik yang busuk adalah politik yang tanpa dilandasi intelektual. Politik dianggap kotor dan kejam karena tidak dikawal dengan intelektual. Jadi kehadiran intelektual dalam dunia politik sangatlah penting. Keduanya tidak bisa dan tidak boleh dipisahkan.
Sekarang ini Indonesia tengah dilanda krisis politikus yang intelek, sehingga elite politik banyak yang tidak bermoral. Kekuasaan dalam pikirannya hanyalah sebuah alat untuk meraih kenikmatan dunia. Pemilu baginya hanyalah ajang perlombaan antara menang dan kalah.
Ada perbedaan mendasar politisi Indonesia dulu dan sekarang. Politisi zaman dulu itu juga seorang intelektual, kalau politisi yang sekarang tentu berbeda dengan politidi jaman dahulu yang penuh patriotisme dan idealisme. Politisi zaman dulu itu mereka kuat literasinya dan menguasai banyak bahasa. Para tokoh bangsa di masa lalu merupakan politikus yang amat berani. Tidak jarang saling bergesekan karena perbedaan ideologi.
Sebab meski perbedaan ideologi di masa awal kemerdekaan itu amat tajam antara Islam, nasionalis, komunis/sosialis, namun tak sampai dibawa para tokoh itu ke ranah personal. Cukup berhenti di ranah ideologi atau pandangan politik. Misalnya saja Soekarno yang kala itu ditahan Orde Baru amat percaya tugasnya bisa digantikan wakilnya Muhammad Hatta yang kerap berbeda pandangan dengannya. Bahkan seorang Isa Anshary (tokoh Masyumi) kala itu bisa bercengkerama dengan D.N Aidit (pemimpin Partai Komunis Indonesia-PKI), padahal lawan luar biasa itu.
Maka, tidak bisa disalahkan kalau Indonesia tidak bisa bangkit lagi seperti zaman perjuangan dulu. Tokoh elite politiknya tidak sebobot dengan politikus dulu. Contohnya, Soekarno dan Hatta. Mereka adalah tokoh politik dan juga tokoh intelektual.
Tampilkan Semua