Oleh: Aji Setiawan – Cendekiawan atau intelektual ialah orang yang menggunakan kecerdasannya untuk bekerja, belajar, membayangkan, mengagas, atau menyoal dan menjawab persoalan tentang berbagai gagasan. Kata cendekiawan berasal dari Chanakya, seorang politikus dalam pemeritahan Chandragupta dari Kekaisaran Maurya.
Secara umum, terdapat tiga pengertian modern untuk istilah “cendekiawan”, yaitu :mereka yang amat terlibat dalam idea-idea dan buku-buku! mereka yang mempunyai keahlian dalam budaya dan seni yang memberikan mereka kewibawaan kebudayaan, dan yang kemudian mempergunakan kewibawaan itu untuk mendiskusikan perkara-perkara lain di khalayak ramai. Golongan ini dipanggil sebagai “intelektual budaya”! dari segi Marxisme, mereka yang tergolong dalam kelas dosen, guru, pengacara, wartawan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, cendekiawan sering dikaitkan dengan mereka yang lulusan universitas. Namun, Sharif Shaary, dramawan Malaysia terkenal, mengatakan bahwa hakikatnya tidak semudah itu. Ia berkata: “Belajar di universitas bukan jaminan seseorang dapat menjadi cendekiawan… seorang cendekiawan adalah pemikir yang sentiasa berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk kesejahteraan masyarakat. Ia juga adalah seseorang yang mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat di mana ia hadir khususnya dan di peringkat global umum untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu.
Lebih dari itu, seorang intelektual juga seseorang yang mengenali kebenaran dan juga berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi tekanan dan ancaman, terutama sekali kebenaran, kemajuan, dan kebebasan untuk rakyat”
Berbeda dengan dunia politik. Politikus (jamak: politisi) adalah seseorang yang terlibat dalam politik, dan kadang juga termasuk para ahli politik. Politikus juga termasuk figur politik yang ikut serta dalam pemerintahan. Dalam demokrasi Barat, istilah ini biasa terbatas kepada mereka yang menjabat atau sedang mencoba mendapatkannya daripada digunakan untuk merujuk kepada para ahli yang dipekerjakan oleh orang-orang yang tersebut di atas. Perbedaan seperti ini tidak begitu jelas jika berpedoman pada pemerintahan yang non-demokratis. Dalam sebuah negara, para politikus membentuk bagian eksekutif dari sebuah pemerintah dan kantor sang pemimpin negara serta bagian legislatif, dan pemerintah di tingkat regional dan lokal.
Salah satu hal menarik untuk dibicarakan setelah pesta demokrasi adalah peran kaum inteletual dalam ranah perpolitikan Indonesia. Banyak ulama yang mencoba terjun ke dalam kancah politik, dengan alasan politik sebagai sarana memperjuangkan kebenaan.
Situasi semacam itu ternyata menjadi sorotan masyarakat. Banyak yang mempertanyakan apakah ulama benar-benar mampu berpolitik? Apakah dengan terjunnya kaum inteletual dalam bidang politik dapat mengubah suasana perpolitikan di Indonesia?
Ada pendapat yang menyatakan agar kaum inteltual terdidik mundur dari dunia politik, karena tugasnya membela kebenaran kepada masyarakat. Politik itu kotor, sedangkan dalam sejarah kejayaan Islam, peran intelektual sangat besar. Khalifah Islam adalah para pemimpin yang selalu dan sangat memerhatikan masalah ilmu pengetahuan dan keintelektualan. di belakang khalifah adalah deretan orang yang ahli dalam bidang masing-masing. Maka tak ayal kalau khilafah Islamiyah bisa mencapai kejayaan karena keintelektualannya.
Peranan kaum intelektual dahulu sebagai inspirator kemerdekaan Indonesia. di antaranya HOS Cokroaminoto, Dr Wahidin Sudiro Husodo, Agus Salim, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyari, Ki Hajar Dewantoro, M Natsir dan sejumlah intelektual ulama serta intelektual lainnya.
Pendapat yang berusaha untuk memisahkan intelektual dengan politik sebenarnya pendapat yang sekuler. Pendapat yang mengotomi politik itu sendiri. Politik dinilai sebagai sesuatu yang hina, sehingga agama yang sifatnya suci tidak diperbolehkan masuk. Politisi boleh bohong tapi tidak boleh salah, ilmuwan tidak boleh bohong tapi boleh salah adalah jargon yang banyak membuat ilmuwan atau ulama yang terjun di dunia politik kehilangan arah tujuannya.
Bila hal seperti ini terus terjadi dan berkembang di dalam dunia intelektual, maka akan menjadi momok bagi ulama maupun ilmuwan. Akhirnya mereka akan makin jauh dari dunia politik, sehingga terciptalah sebuah negara yang sekuler. Negara yang asas pemikirannya selalu berlandaskan untung dan rugi, tanpa menghiraukan etika dan moral.
Maka kita perlu mempersandingkan kembali antara intelektual dengan politik, keduanya saling melengkapi. Politik tidak akan terkontrol tanpa adanya kehadiran intelektual. Politik yang busuk adalah politik yang tanpa dilandasi intelektual. Politik dianggap kotor dan kejam karena tidak dikawal dengan intelektual. Jadi kehadiran intelektual dalam dunia politik sangatlah penting. Keduanya tidak bisa dan tidak boleh dipisahkan.
Sekarang ini Indonesia tengah dilanda krisis politikus yang intelek, sehingga elite politik banyak yang tidak bermoral. Kekuasaan dalam pikirannya hanyalah sebuah alat untuk meraih kenikmatan dunia. Pemilu baginya hanyalah ajang perlombaan antara menang dan kalah.
Ada perbedaan mendasar politisi Indonesia dulu dan sekarang. Politisi zaman dulu itu juga seorang intelektual, kalau politisi yang sekarang tentu berbeda dengan politidi jaman dahulu yang penuh patriotisme dan idealisme. Politisi zaman dulu itu mereka kuat literasinya dan menguasai banyak bahasa. Para tokoh bangsa di masa lalu merupakan politikus yang amat berani. Tidak jarang saling bergesekan karena perbedaan ideologi.
Sebab meski perbedaan ideologi di masa awal kemerdekaan itu amat tajam antara Islam, nasionalis, komunis/sosialis, namun tak sampai dibawa para tokoh itu ke ranah personal. Cukup berhenti di ranah ideologi atau pandangan politik. Misalnya saja Soekarno yang kala itu ditahan Orde Baru amat percaya tugasnya bisa digantikan wakilnya Muhammad Hatta yang kerap berbeda pandangan dengannya. Bahkan seorang Isa Anshary (tokoh Masyumi) kala itu bisa bercengkerama dengan D.N Aidit (pemimpin Partai Komunis Indonesia-PKI), padahal lawan luar biasa itu.
Maka, tidak bisa disalahkan kalau Indonesia tidak bisa bangkit lagi seperti zaman perjuangan dulu. Tokoh elite politiknya tidak sebobot dengan politikus dulu. Contohnya, Soekarno dan Hatta. Mereka adalah tokoh politik dan juga tokoh intelektual.
Sekarang Indonesia perlu berbenah diri kembali. Indonesia perlu mencetak generasi penerus politikus yang akan memikirkan bangsa dengan politikus yang intelek. Indonesia memerlukan pemimpin yang bisa memadukan antara intelektual dan politik, sehingga dapat bangkit kembali dari penjajahan dan keterpurukan. (*) Aji Setiawan, mantan wartawan majalah alKisah, tinggal di Purbalingga Jawa Tengah dan mantan Ketua Korda PWI-Reformasi Daerah Istimewa Yogyakarta 1998-2003.