Kemudian, Partai Golongan Karya (Golkar) dengan dominasi suara di 13 provinsi dan persentase perolehan suara secara nasional sebesar 22,3 persen. Selanjutnya, Selanjutnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan porolehan suara 12,6 persen.
Setelah menyimak dua sejarah Pemilu di atas, membuktikan semangat nasionalisme telah mengantarkan Indonesia sebagai negara demokrasi yang tidak boleh dipandang sebelah mata.
Saat itu, belum ada geliat membahas politik transaksional, entah karena nasionalisme yang begitu besar atau memang sengaja ditutup-tutupi agar tidak menjadi masalah dikemudian hari.
Sampai hari ini belum ada catatan utuh yang mengulas sejak kapan politik transaksional muncul dalam gelaran pemilu di Indonesia. Namun yang pasti, pemilu pasca-reformasi kajian politik itu mulai banyak dibicarakan.
Poin penting yang bisa diambil, tensi politik pada dua pemilu di atas tidak jauh berbeda. Perhelatannya mampu membuktikan pemilu bisa berjalan lancar. Andaikan, pemilu pertama telah ada politik transaksional sebagaimana yang kita rasakan hari ini, sulit rasanya kandidat ‘Miskin Financial’ bisa mendapat perahu, sekalipun hanya mencalonkan di tingkat Kabupaten.
Menjelang pilkada serentak 2020, politik transaksional bisa saja terjadi. Selama kandidat, elit politik dan partai politik masih membudayakan politik itu, tentu tidak bisa diminimalisir.
Belajar dari dua pemilu di atas, peserta pilkada memahami betapa nasionalisme harus menjadi pijakan berfikir.
Masalahnya, pandangan skeptis jika mengedepankan semangat nasionalisme, sulit mendulang kepercayaan masyarakat dengan kalimat yang disampaikan saat kampanye. Maka transaksional jadi alat paling ampuh menutup kekurangan itu.(***)