Ia berkeras kepala naik, mencalonkan diri, dan … menang.
Mengapa menang? Semua analis tahu, ia mengobral janji, melambungkan harapan bahwa kelak Amerika akan kuat. Hebat. Kulit putih lapisan menengah dan bawah tergiur, mereka memilih Trump.
Trump melaksanakan janjinya, perdagangan dunia diacak-acak, urusan nuklir Iran dicampakkan, imigran dilempar-lemparkan sampai anak terpisah dari orang tuanya, tapi apakah Amerika memang semakin kuat, hebat? Belum terbukti.
Lorong sejarah itu tadi, di pilkada tak perlu melihat poin-poin di lorongnya. Justru poin bisa bergantung pada sehari atau dua hari sebelum pencoblosan, adakah uang atau sembako yang diberikan oleh pemain?
Adakalanya, berkat lorong sejarah yang panjang hasil pilkada bisa membuat geleng-geleng kepala. Ikatan emosional yang sudah terjalin lama dan tinggi, kekaguman yang sudah terlanjur tumpah, meski seseorang calon pejabat itu jelas-jelas tersandung kasus korupsi, masyarakat tetap berbondong-bondong memilihnya.
***
Pilkada dan sepak bola, banyak persamaannya, banyak pula perbedaannya. Tergantung bagaimana seseorang memandang, dan bermain di dalamnya. Tak heran bila ada yang “me-sepakbola-kan” pilkada.
Kalah dan habis uang banyak, itu semacam taruhan biasa. Bila berhasil mengalahkan lawan lalu mendapatkan jabatan, kini tiba waktunya mengeruk uang kemenangan.
Sikap demikian bukan hanya milik cagub atau cabup yang diusung, tetapi diresapi oleh suporter di bawahnya.
Kalau pengusaha, ada kontrak jembatan atau bangunan sekolahan. Bila tokoh politik, ia akan mendesak anggaran, bila ia tokoh masyarakat ia akan meminta fasilitas.
Apakah kita akan sedemikian? Tidak. Islam menuntun, setiap tindakan selalu berorientasi pada tanggung jawab. Saat memilih, saat berada di bilik pencoblosan, entah sebagai pemain atau suporter, ada tanggung jawab yang harus dipikul.
Ada amanah yang harus dijunjung dengan kebenaran. Seorang muslim tidak akan memilih pemimpin karena penampilan dan janjinya, atau pemimpin yang menganggap pilkada hanya permainan taruhan, permainan untuk memuaskan diri sebagai petarung belaka.
Tampilkan Semua