***
Pilkada dan sepak bola, banyak persamaannya, banyak pula perbedaannya. Tergantung bagaimana seseorang memandang, dan bermain di dalamnya. Tak heran bila ada yang “me-sepakbola-kan” pilkada. Kalah dan habis uang banyak, itu semacam taruhan biasa. Bila berhasil mengalahkan lawan lalu mendapatkan jabatan, kini tiba waktunya mengeruk uang kemenangan.
Sikap demikian bukan hanya milik cagub atau cabup yang diusung, tetapi diresapi oleh suporter di bawahnya. Kalau pengusaha, ada kontrak jembatan atau bangunan sekolahan. Bila tokoh politik, ia akan mendesak anggaran, bila ia tokoh masyarakat ia akan meminta fasilitas.
Apakah kita akan sedemikian? Tidak. Islam menuntun, setiap tindakan selalu berorientasi pada tanggung jawab. Saat memilih, saat berada di bilik pencoblosan, entah sebagai pemain atau suporter, ada tanggung jawab yang harus dipikul.
Ada amanah yang harus dijunjung dengan kebenaran. Seorang muslim tidak akan memilih pemimpin karena penampilan dan janjinya, atau pemimpin yang menganggap pilkada hanya permainan taruhan, permainan untuk memuaskan diri sebagai petarung belaka.
Sepak bola cantik, pernah kita lihat di tim kesebelasan Brasil, Kamerun, dan Indonesia yang tak pernah juara dunia punya kekayaan lokalitas keindahan sepak bola di Papua yang suatu waktu akan mampu mewarnai perhelatan sepak bola dunia.
Indahnya sepak bola itu terletak karena unsur kerja sama, fair play (suportivitas), menyehatkan, saling berlomba lomba dalam kebajikan dan yang tak kalah unik dari sepakbola dunia ada pergerakan lalu lintas uang dalam memutar roda ekonomi, ada denyut pergerakan uang dari pengiklan, tiket, transfer pemain dll.
Yang perlu diperhatikan saat ini adalah masa pandemi. Pemerintah, sekarang tampaknya mencoba menerapkan standart protokol kesehatan yang ketat. Begitu ada indikasi peningkatan dan penyebaran virus, beberapa daerah langsung di lock down sebagai upaya menekan dan menjauhkan tingkat penyebaran virus.