Covid-19 itu Nyata

119940480 1815540745266276 5356102479008082499 n
119940480 1815540745266276 5356102479008082499 n

Oleh: Ustadz Ahmad Atho

Karena banyak sahabat yang bertanya dan meminta saya menceritakan pengalaman saya bergelut dengan virus corona covid-19, maka saya tuliskan di sini, semoga bisa menjadi pelajaran bagi pembaca.

-•×•-

Sebenarnya sudah sejak awal bulan Agustus lalu saya sakit, tepatnya sejak tanggal 3 Agustus. Pada awalnya saya pikir hanya sakit karena kecapekan saja, capek setelah ngurus penyembelihan kurban. Tanggal 5 Agustus, ketika Abah mertua membawa saya ke mantri langganannya pun Pak Mantri mengatakan hal yang sama, sakit saya karena kecapekan saja, karena keluhan saya saat itu memang hanya demam dan pegal di seluruh badan.

Beberapa hari setelah dari mantri ternyata sakit saya tidak kunjung mereda, Bahkan saya merasa nafas saya sedikit berat. Maka tanggal 10 Agustus, saya periksa ke Puskesmas, saya minta tes darah juga di Puskesmas itu. Hasil tes lab menyatakan saya sakit tyfus, kata dokter. Saya diberi obat jalan, tidak perlu opname karena tyfus saya tidak parah, katanya.

Beberapa hari setelah periksa itu ternyata lagi² tidak ada perbaikan kondisi saya, Bahkan saya merasa bertambah parah, karena nafas saya semakin sesak, bertambah hari bertambah sesak, nafas pendek² dan cepat, nafas memburu. Saya membaca Al Fatihah saja tidak mampu washal, setiap ayat harus waqaf, nafas saya tidak kuat. Badan pun semakin lemah, berjalan baru sekitar lima langkah pun sudah harus berhenti, duduk istirahat, karena tidak kuat, mungkin efek nafas yang semakin sesak itu.

Malam Jum’at tanggal 13 Agustus, saya bilang ke keluarga bahwa saya harus opname di RS, agar ditangani dokter. Sebagian anggota keluarga ada yang keberatan, khawatir saya divonis Corona, tapi saya tidak peduli, mau divonis Corona atau penyakit apapun yang jelas kondisi saya butuh penanganan dokter, saya memaksa, maka malam itu juga, setelah shalat Isya’, saya dibawa ke sebuah RSI di Kota Malang. Masuk IGD RSI saya langsung di ambil darah untuk rapid test dan difoto Thorax. Kata dokter, sekitar 3 jam kemudian setelah hasilnya keluar, rapid saya ternyata nonreaktif, tapi hasil foto Thorax menyatakan saya sakit pneumonia/ radang paru2.
“Pneumonia bisa disebabkan bakteri atau virus, Pak. Karena sekarang masa pandemi seperti ini maka besar kemungkinan ini karena virus. Jika bapak opname maka harus opname di ruang isolasi”, kata dokternya.
“Boleh ditunggu, Dok?”, tanya istri saya.
“Tidak boleh, Bu.”
Mendengar jawaban itu, seketika istri saya mulai menangis, tidak mau dan tidak tega kalo kondisi saya yang selemah itu harus dirawat tanpa ditunggui. Bagaimana nanti kalo saya butuh ke kamar kecil, butuh makan atau minum, siapa yang akan membantu saya, pikirnya.
“Kita ke RS lain saja, mungkin hasilnya beda atau ada keringanan boleh ditunggu”, minta istri saya ke kakak ipar.

Malam itu juga, sekitar jam satu malam, kami pindah rumah sakit, ke sebuah RSU di kota Malang. di RSU ini pun sama, saya di rapid test dan foto Thorax lagi, juga ditest dengan oxymeter, untuk mengetahui saturasi oksigen dalam tubuh saya, yang ternyata memang di bawah normal, saturasi oksigen yang seharusnya 95-100% tapi oxymeter menunjukkan saturasi saya kurang dari 90%.
Jam 2.30 pagi hasil rapid tes dan foto Thorax sudah keluar. Hasilnya? Sama dengan RS sebelumnya, radang paru-paru, Bahkan kali ini rapid test saya pun reaktif, meski hanya berselang sekitar 5 jam dari rapid test pertama. Artinya memang saya harus dirawat di gedung/ ruang isolasi, karena indikasi semakin kuat bahwa saya terinfeksi virus.
“Boleh ditunggu, Dok?”, pertanyaan yang sama dari istri saya.
“Boleh, tapi penunggu akan diperlakukan sama seperti pasien, tidak boleh ke luar dari tempat isolasi, tidak boleh dijenguk, dan nanti pulang juga harus isolasi mandiri, 14 hari.”
“Ngga apa², Dok”, jawab istri saya tampak lega.

Sebenarnya saya tidak tega kalo istri saya harus menunggu saya di ruang isolasi, 24 jam sehari berkumpul satu ruangan dengan pasien positif covid-19, tapi semakin saya cegah ia semakin keras menangis, Bahkan sampai saya ikut menangis memohonnya agar di rumah saja, karena saya juga mengkhawatirkan janin yang dikandungnya, khawatir kondisinya jadi melemah sehingga mudah tertular. Namun usaha saya mencegahnya tidak berhasil, istri saya mengambil surat pernyataan kesanggupan menunggu saya di ruang isolasi, entah apa isinya saya tidak ditunjukkannya.
Saya pun pasrah, hanya bisa berdo’a dan tawakkal pada Allah ta’ala.
اللهم إني أستحفظك وأستودعك زوجتي والجنين الذي تحمله..
Saya baca do’a itu berkali-kali dengan semantap-mantapnya, sekhusyu’-khusyu’nya, saya benar² pasrah. Saya berharap sebagaimana harapan seorang suami dalam kisah yang pernah saya tulis beberapa hari sebelum saya sakit ini, ()

Pagi itu, Jum’at 14 Agustus, saya langsung dibawa ke gedung isolasi, diangkut dengan mobil ambulance, karena gedung isolasi terpisah dari RS, sekitar 100-200 meter.
Hari pertama itu saya langsung dipasang infus, diberi obat tablet dan kapsul entah apa saja, dan disuntikkan 3 obat cair ke tubuh saya lewat selang infus, yang rasa sakitnya minta ampun itu. Pengobatan seperti itu dilakukan tiga kali sehari, artinya tiga kali dalam sehari pula saya harus menahan sakitnya suntikan cairan lewat selang infus di tangan kiri saya. Setelah 3 atau 4 hari tangan saya tidak kuat lagi menahan sakitnya, tangan saya sudah bengkak, saya minta jarum infus dipindah ke tangan kanan saja. Rasanya benar2 bikin saya kapok, Bahkan sakit di tangan itu hingga dua minggu belum juga hilang.

Alhamdulillah hari demi hari selama di ruang isolasi kondisi saya semakin membaik, tensi darah semakin stabil normal, demam sudah turun, dan saturasi oksigen saya juga sudah dalam angka normal, akhirnya di hari ke lima atau ke enam infus saya pun dilepas, obat minum juga dikurangi. Tapi meski sudah dinyatakan sehat pada hari ke lima, saya belum boleh pulang, harus menunggu hasil swab, yang katanya baru ke luar setelah 10 hari sejak pengambilan sampel.

Kog lama sekali hingga 10 hari?, Iya, sebenarnya pada bulan² sebelumnya hasil swab bisa diketahui hanya dalam waktu sehari atau dua hari, tapi semakin hari semakin lama seiring dengan semakin banyaknya sampel yang harus diteliti di laboratorium, harus antri.
Karena saya terhitung pasien dari Kabupaten Malang, bukan Kota Malang, maka sampel saya dikirim ke laboratorium di Tulungagung, bukan di Malang sendiri. Mungkin itu yang menyebabkan antrian semakin lama, karena tentunya tidak hanya sampel yang dikirim dari Kabupaten Malang saja yang harus diteliti di laboratorium itu.
Di sini saya berfikir tentang ramai isu “dicoronakan oleh dokter” yang membuat banyak masyarakat takut untuk memeriksakan diri ke rumah sakit itu. Tiap ada yang berkata pada saya “Jangan² sampean dicoronakan?”, saya katakan “Tidak mungkin, saya percaya pada dokter”.
Kenapa?, karena vonis positif atau negatif Corona bukan ditangan dokter, tapi ditangan peneliti yang ada di laboratorium Tulungagung sana, dokter di RS hanya mengabarkan hasil lab di sana saja. Jadi sangat aneh menurut saya ada istilah “dicoronakan dokter”, setidaknya pada kasus saya.

Hari yang dinanti pun tiba. Setelah sepuluh hari dikarantina, tanggal 24 Agustus, hasil swab keluar. Dua kali swab menunjukkan saya positif covid-19. Mendengar kabar positif covid-19 itu sebenarnya saya sama sekali tidak merasa kaget ataupun terpukul, mungkin karena saya sudah menduga akan demikian hasilnya, mengingat gejala² yang saya rasakan sebelumnya. Saya kuat tapi ternyata istri saya yang tidak kuat menahan tangisnya, mendengar vonis positif covid-19 itu istri saya menangis, khawatir akan kondisi dan keselamatan saya. Namun dokter dan para perawat yang baik dan selalu ramah sejak awal isolasi saya itu lalu memberi penjelasan ke istri saya, mensupport dan menguatkan kami, sehingga saya pun semakin optimis segera sembuh dan sehat kembali, dan istri saya pun tidak begitu takut dan khawatir lagi.

Dari sini saya belajar bahwa dukungan moril dan support orang sekitar itu sangat penting untuk pasien penderita penyakit ini, pastinya juga penderita penyakit lainnya.
Karena ternyata masih banyak masyarakat kita yang menganggap penyakit Corona ini adalah aib, sehingga jangankan mensupport atau menguatkan mental penderita, yang ada justru mereka menstigma negatif, ‘ngerasani’ Bahkan mengucilkan para penderita itu.
Dan hal ini juga yang terjadi pada kami. Saat saya selesai masa karantina di RS dan diantar pulang dengan ambulance, sontak geger lah para ‘Bu Tejo’ di grup² WA warga. Hingga salah satu keluarga saya yang masuk salah satu grup itu langsung telfon ke Ibu saya sambil nangis, tidak tahan dengan ‘rasan²’ anggota grup lainnya, kog tega tetangga² itu ‘rasan²’ hingga mengada-ada cerita.
Stigma negatif itu pula yang membuat banyak orang enggan memeriksakan diri ke dokter meski ia merasakan gejala² penyakit ini. Akhirnya mereka yang bergejala namun lebih memilih selamat dari omongan tetangga daripada menyelamatkan kesehatannya ini yang justru semakin membuat virus itu menyebar luas tidak terdeteksi.

Khawatir Ibu saya sakit karena memikirkan berita² ‘kecangkeman’ itu, saya pun langsung menulis klarifikasi kondisi saya dan memberi pengertian tentang penyakit yang saya derita, di antara yang saya sampaikan adalah bahwa penyakit ini bukan aib, jadi tidak perlu dipergunjingkan. Saya kirimkan tulisan itu ke grup pemuda kampung dan saya minta bantuan untuk disebar ke grup² jama’ah rasan² di WA, Alhamdulillah langsung reda omongan² miring itu hingga akhirnya banyak yang japri langsung ke saya.

Banyak yang tanya ke saya, dari mana saya tertular? Cluster mana/ apa?, saya katakan saya tidak tau, karena aktivitas² saya memang potensial tertular virus ini. Setiap hari kecuali hari Jum’at sejak pagi hingga sebelum zhuhur saya buka toko di pasar, habis zhuhur hingga Maghrib saya ngaji bareng anak2, dan dua atau tiga kali dalam seminggu saya belanja stok toko ke pasar besar, sedangkan daerah saya, apalagi di pasar, terlebih Pasar Besar Malang, termasuk zona merah.

Lalu kenapa baru sekarang?, Wa Allah A’lam, secara logika mungkin saya sebenarnya sudah terpapar virus ini sejak beberapa bulan lalu, tapi berhubung kondisi tubuh saya selalu vit maka virus tidak ngefek, virus ini in-aktif. Sedangkan kemarin itu saya sedang drop, setelah kecapekan ngurus kurban, maka virus ini pun menjadi aktif menginfeksi tubuh saya, terbukti sesak nafas itu saya rasakan baru beberapa hari setelah saya sakit demam dan kecapekan itu.
Jadi, menurut saya yang paling penting kita lakukan dalam menghadapi ‘pagebluk’ ini adalah dengan menjaga vitalitas tubuh kita dan memperkuat imunitasnya, perkuat antibodi kita. Rutin olahraga, istirahat teratur, berjemur pagi hari, jangan makan/minum sembarangan, dan kalo perlu minum madu atau suplemen lainnya. Dan juga yang tidak kalah penting adalah selalu berdo’a dan tawakkal dengan sungguh².

Dua hal terakhir ini setidaknya benar² saya rasakan dan saksikan keampuhannya. Yaitu apa yang terjadi pada istri saya. 24 jam dalam sehari selama sepuluh hari di tempat isolasi selalu berinteraksi dengan pasien positif covid-19 tapi Alhamdulillah istri saya aman. Bahkan, ketika masih di rumah sering sekali perutnya mual² hingga muntah, tapi selama dikarantina sama sekali tidak merasakan keduanya, tidak pernah mual apalagi muntah. Dan anehnya, begitu kami pulang dari karantina, baru masuk rumah beberapa menit istri saya langsung mual² lagi. Bi idznillah hingga sekarang istri saya sehat, dan semoga sehat terus. Dan semoga kita beserta keluarga kita dihindarkan dan diselamatkan dari penyakit ini, semoga Allah ta’ala memberi taufiq dan kekuatan kepada pemerintah dan tenaga medis untuk menangani wabah ini dengan baik dan secepatnya.

AHMAD ATHO’ILLAH
Penyintas Covid-19

Cilacap Info
IKUTI BERITA LAINNYA DIGOOGLE NEWS

Berita Terkait