Seiring kepulangan santri Jawa yang telah selesai belajar di tanah suci, menjelang akhir abad delapan belas, berbagai thariqah telah tersebar luas di nusantara. Setiap daerah memiliki kekhasan thariqahnya sendiri, sesuai yang dianut petinggi agama setempat. Beberapa daerah juga memiliki tradisi yang merupakan perpaduan dari berbagai thariqah terkenal.
Jejak Thariqah Qadiriyyah dan Rifa’iyyah, misalnya, bisa dikenali lewat kesenian debus yang tersebar mulai di berbagai kesultanan seperti Aceh, Kedah, Perak, Minangkabau, Banten, Cirebon, Maluku, dan Sulawesi Selatan. Bahkan kesenian yang mengedepankan aspek kesaktian itu juga dikenal di komunitas Melayu di Cape Town, Afrika Selatan, yang mungkin mendapatkannya dari Syaikh Yusuf Al-Makassari dan murid-muridnya.
Selain dua thariqah tersebut, debus juga dijadikan media penyebaran dan perjuangan Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN), tarekat baru yang didirikan oleh ulama sufi Makkah asal Kalimantan Barat, Syaikh Ahmad Khatib As-Sambasi (wafat 1878). Sufi besar itu mempunyai tiga orang khalifah (asisten, yang kelak bisa menggantikan sebagai guru utama), yakni Syaikh Abdul Karim Banten, Syaikh Tholhah Cirebon dan Syaikh Ahmad Hasbullah Madura (tinggal di Makkah).
Thariqah Alawiyyah sendiri diasas oleh Al Faqih Al Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawi (574 H/1178M-653H/1255 M Tarim-Yaman) .Ada dua jalur keilmuan dan thariqah yang diambilnya. Pertama ia mengambilnya dari jejak leluhurnya yakni lewat ayah, kakek dan terus bersambung sampai Rasulullah SAW. Jalur yang kedua ia mengambil dari ulama sufi, yakni Syaikh Abu Madyan Syu’aib dimana sanad mata rantai keilmuannya juga akhirnya sambung sinambung sampai Rasulullah SAW. di Kemudian hari, keluarga Ba’alawi ini sebagian ada masuk ke wilayah Nusantara seiring gelombang penyebaran Islam ke bumi Nusantara. Apalagi saat itu, Nusantara menjadi objek kunjungan dagang, melalui Bandar Malaka.
Tampilkan Semua