CILACAP.INFO – Bencana banjir dan longsor di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah ini adalah bencana banjir dan longsor terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah bencana di Cilacap setidaknya 20 tahun terakhir.
Tercatat ada jumlah pengungsi mencapai 1.463 keluarga yang terdiri dari 4.275 jiwa dari 46 desa di 15 kecamatan yang terdampak banjir. Adapun longsor terjadi di 14 desa di tiga kecamatan.
Tak pelak bencana banjir dan longsor ini mengundang rasa solidaritas kegotongroyongan warga, untuk berbagi. Puluhan organisasi, lembaga maupun komunitas terjun dalam aksi tanggap darurat bencana alam. Bertruk-truk bantuan dikirimkan kepada pengungsi.
Ini adalah angin segar untuk korban banjir pada hari-hari pertama bencana, saat pemerintah masih tergagap menghadapi bencana sekolosal ini. Pada hari pertama dan kedua bencana, sebagian besar pengungsi kekurangan makan.
Kala itu, bantuan pemerintah tak bisa banyak diharapkan. di pengungsian Desa Mulyasari dan Nulyadadi, Kecamatan Majenang, misalnya, makanan siap saji hanya diperoleh dari Gusdurian Majenang, Sementara, pemerintah lamban.
“Yang penting adalah empati kemanusiaan dan tetangga dekat yang kami prioritaskan dapat bantuan,” kata Koordinator Gusdurian Peduli Majenang, Nico Wahyu yang juga Ketua Dewan Gereja Katolik St.Treresia Majenang, saat berkunjung dan menyalurkan bantuan, di Posko Pengungsi SDN 03 Mulyasari, Majenang, Kamis, 20 November 2020.
Kesiapan Pemerintah Jadi Sorotan
Dalam kesempatan tersebut, Gusdurian Peduli Majenang menyalurkan bantuan berupa sembako, makanan siap saji, air mineral, mi instan, obat-obatan dan lain sebagainya.
Selain bantuan logistik, Gusdurian juga menerjunkan relawan dalam bencana banjir dan longsor di dapur umum, distribusi, hingga relawan untuk turut membantu masyarakat memperbaiki tanggul yang jebol.
Bersama masyarakat, ormas maupun lembaga dan relawan-relawan lainnya guna melakukan aksi kemanusiaan tersebut.
Dia juga mengapresiasi petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan instansi lain yang berjibaku dalam penanganan banjir dan longsor ini.
Mereka telah bekerja siang malam melakukan tanggap darurat, menyalurkan bantuan, mendirikan dapur umum, meski beberapa di antaranya terlambat.
Dimohon kesiapan pemerintah dalam mitigasi, tanggap darurat, dan penanganan pascabencana. Melihat fakta di lapangan, pemerintah belum siap menghadapi bencana alam yang terjadi secara bersamaan atau kolosal, seperti yang terjadi di Cilacap kali ini.
“Bisa dimaklumi, ini adalah bencana akbar. Sehingga pemerintah kurang sigap, dan penanganannya pun lambat,” ujarnya.
Pantauan dia, kekacauan sempat terjadi pada hari pertama dan kedua banjir. Salah satunya yakni dalam proses evakuasi. Pemerintah terkesan membiarkan warga terdampak banjir mengsiri, mencari pengungsian sendiri-sendiri.
Kata dia, lokasi dan jumlah pengungsi yang tak pasti itu memicu masalah berikutnya, yakni makanan untuk pengungsi.
Pada hari pertama dan kedua, banyak posko pengungsian yang tak tersentuh bantuan pemerintah, meski sudah melaporkan melalui RT atau pemerintah desa.
Kewalahan Hadapi Bencana Akbar
“Sebaiknya ada koordinasi yang baik mulai dari BPBD, Dinsos, pemerintah desa, kecamatan. Kesannya evakuasi berjalan sendiri-sendiri. Bahkan ada juga kelompok rentan, seperti bayi yang ikut mengungsi. Seharusnya terpisah,” ucapnya.
Menurut dia, yang perlu dilakukan adalah perbaikan manajemen risiko bencana yang baik. Pasalnya, banjir dan longsor sudah menjadi langganan di Cilacap dan titik paling berisikonya sudah terdeteksi.
Meski begitu, patut diapresiasi BPBD dan semua pihak yang terlibat dalam penanganan banjir di Cilacap. Mereka telah mati-matian menangani bencana yang terjadi luar biasa. Tak dipungkiri, dengan keterbatasan personel dan peralatan, penanganan bencana menjadi pekerjaan berat.
“Mari kita bersama-sama melakukan perbaikan manajamen risiko bencana. Agar kita lebih siap,” ucapnya
Kepala Pelaksana Harian BPBD Cilacap, Tri Komara Sidhy mengakui pemerintah sempat kewalahan saat melakukan tanggap darurat bencana banjir dan longsor yang terjadi di puluhan desa ini.
“Bencana secara bersamaan. Istilahnya ‘dibregna’ berbarengan. Bayangkan, yang banjir 14 kecamatan,” kata Komara.
Dia mencontohkan, dalam evakuasi warga terdampak banjir, BPBD harus mengerahkan perahu ke lebih dari 10 kecamatan. Sementara, perahu yang siaga di masing-masing Unit Pelaksana Teknis (UPT), tiga buah ditambah dengan perahu dari BPBD Cilacap.
Organisasi Masyarakat Mendirikan Posko Aksi Kemanusiaan Bencana Banjir Majenang
2 Korban Jiwa dan Kerugian Miliaran
NU dan organisasi di bawahnya mendirikan posko kemanusiaan untuk penanganan bencana alam banjir dan longsor di Cilacap.
Meski sudah ada pengerahan perahu-perahu bantuan dari berbagai instansi dan organisasi kemanusiaan, jumlah perahu untuk evakuasi itu masih kurang. Sebab, lokasi banjir sangat luas, mulai dari Cilacap timur hingga barat, yang berjarak kisaran 90 kilometer.
“Timur baru saja selesai. Barat banjir, bersamaan. di Majenang juga ada lagi banjir, yang juga harus dievakuasi,” dia mengungkapkan.
Komara juga mengakui, BPBD juga sempat kesulitan menyediakan makanan untuk para pengungsi pada hari pertama dan kedua bencana. Pasalnya, BPBD masih harus mendata jumlah pengungsi dan lokasi pengungsian yang terus bertambah seturut meningkatnya tinggi genangan.
“Alhamdulillah kalau sekarang sudah tercover. Kami bekerja sama dengan Bagana, MDMC, serta organisasi dan komunitas lain untuk mendirikan dapur umum. Sekarang beres,” ujarnya.
Dia pun mengklaim, secara bertahap para pengungsi mulai kembali ke rumah pada hari keempat banjir Cilacap, terutama di wilayah Cilacap timur.
Adapun di Cilacap barat, ribuan warga masih mengungsi, mulai dari Kecamatan Bantarsari, Gandrungmangu, Sidareja hingga Kecamatan Kedungreja.
Dalam bencana banjir dan longsor itu, dua orang meninggal dunia di Kertajaya, Kecamatan Gandrungmangu.
Korban terseret banjir bandang. Adapun kerugian akibat banjir dan longsor masih dalam pendataan, namun diperkirakan mencapai miliaran rupiah. (***)