JAKARTA, CILACAP.INFO – 12 Desember 2023, Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh bakteri TB atau dikenal sebagai Mycobacterium Tuberculosis. Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi terdapat pula yang menyerang organ tubuh lainnya.
TB paru adalah penyakit yang dapat menular melalui udara (airborne disease). Bakteri TB menular dari orang ke orang melalui percikan dahak (droplet) ketika penderita TB paru aktif batuk, bersin, bicara atau tertawa.
Bakteri TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, bakteri ini dapat tertidur lama selama beberapa tahun (Kemenkes RI, 2012).
Gejala umum yang ditimbulkan oleh TB adalah batuk yang berlangsung lebih dari 3 minggu, batuk darah atau dahak, sakit dada, mudah lelah dan lemah, demam, panas dingin, keringat saat malam, dan kehilangan nafsu makan. Kurangnya pengetahuan tentang gejala TB membuat pasien merasa kurang paham dalam melakukan pengobatan ketika muncul gejala-gejala tersebut.
Menurut data WHO tahun 2022, angka kematian akibat TB pada tahun 2021 juga mencapai angka yang sangat tinggi, setidaknya 1,6 juta orang yang meninggal akibat TB dan meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sekitar 1,3 juta orang.
Beberapa negara telah berhasil mengurangi beban TB dengan tingkat yang signifikan, namun Indonesia masih menempati posisi kedua dengan jumlah penderita TB terbanyak di dunia setelah India. Pada tahun 2021, diperkirakan terdapat sekitar 969.000 kasus TB di Indonesia, yang menunjukkan peningkatan sebesar 17% dari tahun 2020.
Salah satu upaya dalam menanggulangi TB adalah pengobatan yang dikonsumsi selama periode 6 hingga 12 bulan. Obat-obatan yang digunakan dalam pengobatan TB paru mengandung agen antituberkulosis, yakni antibiotik yang dirancang khusus untuk mengatasi infeksi bakteri TB.
Pengobatan ini terbagi menjadi dua tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan. Permasalahan muncul ketika penggunaan obat yang tidak tepat atau tidak sesuai dengan pedoman pengobatan dapat menyebabkan resistensi atau kekebalan terhadap obat itu sendiri.
Jika pengobatan tidak dilakukan sesuai prosedur, hal ini menjadi rantai penyakit yang tidak terputus sehingga sangat berisiko menularkan kepada orang terdekat termasuk keluarga. Selain itu, kondisi yang semakin parah akan menimbulkan komplikasi atau bahkan dapat menyebabkan kematian.
Proses pengobatan yang berlangsung lama, membuat pasien merasa bosan dan tidak jarang sebagian dari mereka berhenti minum obat saat merasa sudah sedikit membaik. Walaupun masa pengobatan belum selesai, hal tersebut menyebabkan waktu pengobatan yang terhenti dan menimbulkan resisten obat tuberkulosis terhadap pasien atau biasa disebut tuberkulosis resisten obat.
Tuberkulosis Resisten Obat (TB-RO) adalah kondisi dimana bakteri sudah kebal terhadap obat lini 1 (periode pengobatan 6 bulan), sehingga pasien harus mendapatkan kombinasi obat lini 2 dengan periode waktu pengobatan yang lebih lama (9-12 bulan).
Berdasarkan Global TB Report 2020, diperkirakan terdapat 24.000 kasus TB-RO di Indonesia setiap tahunnya. Dari jumlah ini, berdasarkan data rutin program Nasional Penanggulangan TB, pada tahun 2019 baru ditemukan 11.463 kasus TB-RO, atau terdapat perbedaan 52,5% dari perkiraan kasus yang ada.
Dari 11.463 kasus tersebut, hanya 5.531 atau 48,3% pasien yang sudah memulai pengobatan, dengan angka keberhasilan pengobatan berkisar di antara 49-51% dan angka putus pengobatan 24% sampai dengan 26% per tahun. Angka putus pengobatan ini terbilang tinggi, mengingat hasil cakupan keberhasilan yang dicapai masih jauh dari target keberhasilan pengobatan global yaitu sebesar 86%.
Tingginya angka putus pengobatan menjadi salah satu indikator rendahnya kepatuhan pasien untuk menyelesaikan pengobatan. Ketua Yayasan Pejuang Tangguh (PETA) menyatakan bahwa kesadaran diri pasien akan kesehatannya sangat penting dalam meningkatkan kepatuhan terapi TB-RO untuk menjaga atau mencegah penularan lebih lanjut kepada orang-orang yang disekitar.
Selain itu, efek samping dari obat yang timbul sangat beragam sehingga perlunya peran keluarga sebagai orang terdekat pasien untuk selalu mendukung dan menemani proses pengobatan hingga dinyatakan sembuh sepenuhnya.
Dukungan keluarga dalam mendampingi pasien terapi TB-RO dimulai dari ikut dalam proses konsultasi rutin dan sosialisasi. Selain itu, keluarga serta organisasi atau LSM juga ikut mengawasi kepatuhan pasien dalam pengobatannya Sehingga, sangat penting untuk menjalin kerja sama lintas sektor antara pemerintah, tenaga kesehatan serta organisasi terkait dalam menjalankan program-program guna mendukung pasien TB-RO.
Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI. (2012). Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis Ko-Infeksi TB-HIV. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
2. Kementerian Kesehatan RI. (2020). Petunjuk Teknis Penatalaksanaan Tuberkulosis Resistan Obat 2020. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit.
3. World Health Organization. (2022). Global tuberculosis report 2022. Geneva: World Health Organization; 2022. License: CC BY-NC-SA 3.0 IGO.
4. Mengenal TBC resisten obat dan kendala penanganan [diakses pada 17 Oktober 2023 pukul 14.03]
5. Instagram: @tbc.indonesia [diakses pada 17 Oktober 2023 pukul 15.08]
Oleh: Alifia Hanika Geren, Ratih Dwi Puspitasari (Universitas Indonesia).