Serupa yang terjadi di Desa Tolada Kecamatan Malangke dimana banjir juga merendam rumah warga, sekolah dan masjid serta lahan pertanian dengan ketinggian antara 50 hingga 70 sentimeter.
“Sekitar 2.000 hektar lahan milik warga tidak dapat digarap selama kurun 4 tahun terakhir, termasuk sawah, kebun sawit, jeruk nipis, jagung dan empang air tawar,” ungkap Herwin, tokoh pemuda setempat.
Banjir kronis di Luwu Utara disebabkan oleh luapan sungai-sungai besar di daerah itu.
Pada sejumlah titik, tanggul pengaman di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) akhirnya jebol akibat debit air yang sangat tinggi.
“Jika hujan deras di bagian hulu, bisa dipastikan air sungai malah sudah melewati ketinggian tanggul lalu merendam seluruh desa di sekitarnya,” tambah Herwin.
Tidak Sederhana
Musibah banjir yang kerap melanda sejumlah wilayah di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan ini mendapat perhatian dari banyak pihak.
Tak terkecuali dari Wakil Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Kerukunan Keluarga Luwu Raya (KKLR) Dr Abdul Talib Mustafa.
Menurut Talib, banjir di Luwu Utara bukan masalah yang sederhana dan perlu penanganan yang sifatnya menyeluruh dan jangka panjang.
“Ini masalahnya tidak sederhana. Fakta seperti ini menjadi masalah yang kompleks bagi semua penduduk yang bermukim di semua daerah aliran sungai (DAS) Lutra, plus sarana produksi mereka seperti sawah, kebun, peternakan, dan sebagainya,” kata Talib, Senin, 13 Mei 2024 lalu.
Karena itu maka diperlukan penanganan yang menyeluruh dan jangka panjang untuk masalah ini.
“Paling tidak kepada mereka yang bakal jadi Bupati dan Wakil Bupati di Lutra ke depan harus sabar, konsern dan berjejaring penyelesaian masalah ini,” jelas dia.
Talib menambahkan, beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menangani bencana banjir di Luwu Utara antara lain dengan melakukan studi dan pemetaan wilayah-wilayah yang rentan mengalami banjir.
Tampilkan Semua