Rentetan kontroversi masih berlanjut di tahun 2024. Pada Februari, DKPP memberikan sanksi peringatan keras kepada Hasyim dan enam anggota KPU lantaran KPU menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden (cawapres) di Pilpres 2024.
Satu bulan kemudian, DKPP kembali menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada Hasyim dan Komisioner KPU Mochammad Afifuddin karena tidak menjalankan putusan PTUN Jakarta untuk memasukkan nama Irman Gusman ke Daftar Calon Tetap (DCT) anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Pemilu 2024.
Selanjutnya di bulan Mei, DKPP lagi-lagi menjatuhi sanksi berupa peringatan kepada Hasyim dan semua anggota KPU soal kebocoran ratusan data pemilih tetap (DPT).
Puncaknya, adalah sanksi pemecatan yang dijatuhkan oleh DKPP terhadap Hasyim dalam pengucapan putusan di Gedung DKPP, Jakarta, Rabu (3/7).
Sementara itu anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS) Herdiansyah Hamzah Castro juga menyebut pelanggaran kode etik dan sanksi terhadap Hasyim ini akan berdampak pada legitimasi hasil pemilu, baik Pilpres maupun Pileg.
Sebab, menurut Castro, hal ini tidak hanya terkait dengan Hasyim semata, tetapi juga menyangkut KPU selaku lembaga penyelenggara pemilu.
“Nah kalau logikanya gini, bagaimana mungkin sapu kotor itu bisa menghasilkan hasil pemilu bersih, pasti akan kotor juga kan, bayangan publik kalau penyelenggaranya busuk, tanda petik ya, penyelenggaranya kotor, otomatis hasil-hasil atau kerja-kerja yang dihasilkan juga akan menjadi pertanyaan bagi publik karena kemungkinan besar juga kotor, kan itu persepsi yang terbangun akibat sanksi pemecatan terhadap Hasyim Asy’ari,” tutur Castro.
Hilang kepercayaan pada Pemilu
Hal serupa juga disampaikan Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati.
Kata Neni, pelanggaran kode etik berulang kali oleh Hasyim selaku ketua KPU menjadi permasalahan yang sangat serius.
Tampilkan Semua