Sebab, hal tersebut secara tidak langsung berdampak pada kepercayaan publik terhadap KPU sebagai penyelenggara pemilu.
“Publik tentu semakin hilang kepercayaan atas ulah yang dilakukan oleh ketua KPU, baik itu terhadap pelaksanaan pemilu maupun hasilnya,” ujarnya.
Fit and Propert Test Sebatas Prosedur
Sebelum terpilih, para calon anggota KPU lebih dulu menjalani uji kelayakan dan kepatutan alias fit and proper test di Komisi II DPR.
Neni menyebut pihaknya selama ini sudah kerap mengingatkan terkait transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemilihan anggota KPU. Termasuk, soal pengecekan terhadap rekam jejak para calon.
“Ini kan sangat disayangkan sekali begitu ya, karena hanya dengan preferensi politik yang mereka punya, masing-masing parpol punya prefrensi, pada akhirnya tidak melihat dari sisi integritasnya,” ucap Neni.
Neni mengatakan persoalan ini tak hanya di KPU pusat saja, tetapi juga terjadi di tingkat provinsi hingga kabupaten/kota.
Bahkan, menurut Neni, proses rekruitmen anggota KPU yang selama ini terjadi hanya sebatas prosedural.
“Buat saya rekruitmen dan seleksi hanya sebatas prosedural saja, tapi tidak substansial, bagaimana ada kepentingan substansi untuk menyelematkan demokrasi ini,” kata dia.
“Banyak penyelenggara pemilu yang tidak kapabel, tidak pnya kapasitas, kapabiltas, bahkan knowledge tentang kepemiluan itu something they dont know, tapi masuk dan lolos sebagai penyelenggara pemilu,” sambungnya.
Castro pun menyoroti soal uji kelayakan dan kepatutan anggota KPU yang dilakukan di DPR. Menurutnya, hal ini membuka ruang terjadinya transaksi kepentingan, termasuk politik.
“Yang menjadi problem sebenarnya kan adalah kanal uji kelayakannya, fit and proper-nya kan dilakukan di DPR kan, nah itu yang bagi kami kalau teman-teman hukum tata negara selalu menyebut bahwa KPU ini jenis kelaminnya adaah lembaga semi politik,” tutur Castro.
Tampilkan Semua