CILACAP.INFO – Pakar Hukum Pemilu Universitas Indonesia Titi Anggraini mengevaluasi pemecatan Hasyim Asy’ari dari pucuk pimpinan Ketua KPU harus menjadi pengingat bahkan peringatan bagi semua unsur penyelenggara pemilu tanah air.
Dikatakan meskipun memiliki kewenangan strategis, tapi pengawasan publik akan selalu bekerja terhadap kebijakan yang diambilnya.
“Komisioner anggota KPU meskipun memiliki kewenangan strategis, juga memiliki batasan. Yakni, terkait penegakan hukum dan penegakan etika.” katanya kepada awak media Jumat, (07/2024)
Lebih lanjut lulusan terbaik dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tahun 2001 tersebut mengutarakan ketika melakukan pelanggaran bisa jadi mereka selamat sekali, dua kali, tetapi kontrol masyarakat dan pengawasan publik akan selalu bekerja terhadap mereka.
“Jangan sampai ada Hasyim Asy’ari lainnya di dalam penyelenggaraan pemilu maupun Pilkada kita,” tutur Titi Anggraini.
Sementara itu anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS) Herdiansyah Hamzah Castro mengingatkan soal moralitas dan etika terhadap para penyelenggara pemilu.
Sebab, setiap pelaksanaan aturan hukum harus berpedang pada moralitas dan etika.
“Di dalam hukum ada istilah law without morality useless, enggak ada gunanya, meskipun teman-teman mengatakan kita taat terhadap hukum, kita mematuhi hukum, punya rambu-rambu hukum, tapi kalau kita tidak taat tehadap etik, tidak taat terhadap moralitas ya enggak ada gunanya, yang terjadi ya seperti kasusnya Hasyim ini,” tutur Castro.
“Makanya menurut saya paling penting bagi teman-teman penyelenggara pemilu juga mesti punya prinsip, punya karakter, punya moralitas, punya etik yang betul-betul bisa membentengi dirinya dari perbuatan-perbuatan asusila,” sambungnya.
Diberitakan bahwa Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan sanksi pemecatan terhadap Ketua KPU Hasyim Asy’ari karena terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu (KEPP) dalam bentuk tindak asusila.
Refleksi Hukum Pemilu 2024
Dalam dekade tahun-tahun pesta demokrasi di Indonesia dan rekam jejak pemilu 2024 ini, nalar berhukum bangsa kita sedang diuji, bahkan terusik dengan beragam peristiwa yang mempertontonkan bagaimana hukum hanya dimaknai sebatas aturan semata.
Sementara prinsip, etik, dan moralitas diabaikan begitu saja. Bahkan cenderung dianggap hal lumrah. Malahan ada yang menjadikannya bahan candaan seperti umpatan “ndasmu etik” dan sejenisnya.
Orang lupa, hukum tanpa moralitas adalah kosong dan tidak bermakna apa-apa. Seperti kata pepatah latin, “leges sine moribus vanae (laws without morals are useless)”.
Artinya, hukum tanpa moralitas, tidak akan ada artinya. Seperti mayat hidup (zombie), yang memiliki tubuh tapi tidak memiliki hati, jiwa, dan pikiran.
Seseorang yang mengaku taat hukum tetapi mengabaikan prinsip, etik, dan moralitas, adalah bentuk kekeliruan mendasar dalam memahami hukum.
Sebab, hukum bukan hanya rumah peraturan, tetapi juga dibentengi dengan moralitas. Orang pandai yang tidak ditopang dengan moralitas yang baik, maka dia berpotensi menggunakan kepandaiannya untuk kejahatan.
Sebaliknya, orang yang pendek akal namun dibekali dengan moralitas memadai, maka dia akan dihargai layaknya manusia beradab. Dalam hukum, menafikan moralitas adalah penyakit serius yang harus disembuhkan. (IHA)